[Karyaku] Assalamualaikum sahabat Smart Mom, apakabar? Sudah selesaikan liburan panjangnya? Pasti banyak dong ceritanya. Nah, coba deh kisahnya ditulis dan dikirim ke Majalah Femina. Lumayan banget loh untuk kisah inspiratif di Rubrik Gado-gado ini dapat honor Rp. 500 ribu (setelah ditransfer kena potong pajak).
Nah, ini kisahku saat aku dan keluarga berjuang keras untuk membiasakan diri makan beras Padang. Berasnya enggak pulen jadi kami sekeluarga yang biasa makan beras pulen jadi sedih. Namun, ala bisa karena terpaksa, hihihi jadi deh sukses juga makan beras khas Padang. Bagaimana kisahnya? Baca selengkapnya ya!
Aku : Mbk ajarkan aku nulis gado-gado
Mbk Liza : Ya udah tulis aja!
Aku : (Bete) gimana awalnya, mbk?
Mbk Liza : Tulis aja dulu
Aku : (Masa si itu resepnya?) tapi tetap nulis juga dan setor
Mbk Liza : Itukan bisa, tinggal bagian ini diperbaiki
Dan taraaa.... tulisan ini akhirnya sukses? Belum begitu langsung kukirim, aku belum pe-de, rombak sana-sini. Minta bacakan ama teman-teman di BaW, mereka memberikan masukan ini itu. Naskah lalu kuendapkan lagi dan baru beberapa bulannya dikirim hihihi.... terima kasih ya Mbk Liza, Mbk Nur, Uni Novia, Shabrina Ws, Kak Nei-nei, Mak Wik dan teman-teman yang terus mendukungku *sekian pidato mau turun podium dulu* hahaha....
Pas belum dimuat-muat juga baper wkwkw... hadeh...soalnya sudah dapat pemberitahuan wmail akan segera ditayang. Ya Robb, lumayan deg-degannya. Tapi, dari naskah ini aku banyak belajar kesabaran dan ketekunan. Semoga kisahku bermanfaat ya!
Ini naskah asli belum diedit. Naskah yang sudah diedit editor bisa langsung diklik yang majalahnya ya J
![]() |
Inilah kisah Beras, Gado-gado di Majalah Femina Edisi 12 Bulan Maret 2016 |
Beras
Naqiyyah Syam
Aku susah beradaptasi makan nasi saat baru pindah ke Padang. Rasanya lembek atau lembut saat baru matang saja. Tak lama akan menjadi keras. Padahal, aku dan keluarga suka makan nasi yang pulen. Awalnya aku pikir karena beli beras di warung. Tapi, saat beli beras dengan berbagai merk terkenal di Padang. Tetap sama. Masak di magic com udah enggak praktis. Karena aku harus masak nasi berkali-kali. Suami dan anakku protes makan nasi yang mekar.
“Aduh, makan kok enggak kenyang-kenyang!” keluh suami. Demi nasi yang tidak keras. Aku rela masak pagi-pagi. Bangun jam 4 pagi untuk persiapan bekal sekolah anakku. Pernah karena kecapekan, aku enggak sempat masak nasi di pagi hari. Terpaksa anak sulungku membawa bekal nasi semalam. Alhasil bekalnya utuh. “Ah, nasinya keras!” kata si sulung.
Lain lagi pas kami ke baralek (pesta pernikahan). Acaranya mewah dan megah. Makanan di pesta banyak. Bisa pilih sesuka hati. Usai ngantri di prasmanan, sepiring nasi dengan lauk pauk di depan mata. Apa daya, lidah tidak mampu menelan banyak. Nasinya mekar! Untungnya, di pesta itu menyiapkan jajanan lain. Dengan cuek, aku mengantri lagi ke meja bakso dan siomay. Suamiku hanya geleng-geleng kepala.
Suatu hari, suami membawa pulang seplastik beras. Saat dimasak, berasnya harum dan pulen. Hati pun berbunga. Asyik, makan bisa lahap lagi nih! Dan benar saja, kami sekeluarga happy banget. Beras itu pas di lidah. Pandan wangi. Si sulung makan dengan lahap. Suami juga tidak protes lagi. Tapi itu tak lama, penjual beras langganan kami mulai menyetop menjual beras ini.
“Ini mau menghabiskan stok aja,Bu. Besok sudah tak ada,” kata penjual beras itu. Saat aku membeli beras 10 kilo gram terakhir kali. Sedih sekali rasanya. Membayangkan makan nasi keras lagi dan mengatur jadwal masak nasi yang bisa 3-4 kali dalam sehari.
Waktu berlalu, tak terasa jelang lebaran. Aku ingin membuat ketupat. Aku pun mulai mempersiapkan bahan untuk membuat ketupat. Aku membeli 20 sarang ketupat. Tak lupa browsing resep ketupat di internet. Tak puas, aku menelpon kakakku di Bengkulu. Dia memberikan aku tips membuat ketupat. Tentu saja aku lebih yakin resep kakakku dibanding resep di internet. Mungkin karena sudah selidah, jadi lebih percaya.
Sebelum memasak, aku baru ingat, Wah, sayang dong masak ketupat beras biasa, lebih enak kalau beras baru! Aku pun meminta suami membelikan beras baru di pasar. Tak lama, suami kembali membawa plastik hitam. Dengan riang aku mencuci beras dan merendamnya selama 2-3 jam. Kemudian, aku masukkan beras ke sarang ketupat. Tak lama, kuangkat ketupat idamanku. Saat dibelah, mataku terbelalak, “Lho, kenapa keras begini?”
Ternyata suamiku sengaja membeli beras yang khusus membuat ketupat. Pantes saja, rasanya jadi aneh! Keras sekali! Nasi sudah menjadi bubur eh sudah menjadi ketupat. Sayang kalau dibuang, saat makan ketupat itu, aku jadi teringat Nek Imar pedagang sayur keliling di komplek perumahanku. Diusianya yang sudah 70-an, ia masih berkeliling dengan gerobak sorongnya berjualan sayur. Ia berjuang mencari sesuap nasi. Tak patut rasanya jika aku mengeluh terus tentang beras. Tak lama kemudian, aku sudah menghabiskan semangkuk ketupat sayurku. Ah, bersyukurnya masih bisa beli beras. Ketupat jadi terasa nikmat.