Assalamualaikum Sahabat Smart Mom,
Bulan April adalah istimewa bagi kami. Lima belas tahun silam tepatnya 24 April 2005 kami mengikat janji. Ya, kami mengadakan pernikahan di Bengkulu. Tahun itu aku belum wisuda, keputusannya kami menikah setelah seminggu aku ujian skripsi. Alhamdulillah proses pernikahan lancar.
Perjalanan pernikahan kami tentunya seperti pasangan lainnya. Mengalami pasang surut menghadapi lika-liku kehidupan berumahtangga. Ada saat LDR, ada saat berkumpul. Ada saat tertawa, ada saat menangis. Kami belajar saling mendukung dan memahami.
Tahun ini tentu saja istimewa, di tengah pandemi Covid-19 ini, kami mendapat hadiah dari anak sulung kami Tasmi’ 15 Juz. Mas Faris berhasil menuntaskan hapalannya 15 Juz. Tentunya ini menambah rasa syukur kami, di pernikahan ke-15 ini.
Selain itu, setelah itu, di usia penikahan ini kami jadi sering ngobrol menjelang tidur. Kami membicarakan apa saja mengenai hobi, kemampuan anak, keuangan sampai politik.
Baca Juga : Memaknai 10 Tahun Pernikahan
Moms, menyadari enggak, semakin besar usia pernikahan, semakin membawa kita memahami pasangan. Menyadari kalau kita butuh menua bersama. Kalau salah satu sakit, pengennya ditemani dan dilayani bak pengantin baru hihi...
Kadang aku tertawa melihat suami dan bercanda, “Bi, kok sejak ada Corono, ubannya makin banyak? Hampir semua rambut loh!”
“Ya biarin ajalah!” jawab suamiku.
Uban di rambutku juga mulai muncul dibagian depan. Rambut putih itu menyembul tanpa aku sadari. Efek malas sisiran hehe.... sampai suatu hari anak-anak berkata “Mi ada uban!”
Sikap Kepada Mertua
Semakin menuanya usia, aku kadang takut tidak bisa membersamai anak-anak sampai mereka besar. Bahkan rasa ketakutan luar biasa itu pernah terjadi ketika aku sakit vertigo dan suami masih dinas di Sulawesi. Aku sempat menahan rasa sakit vertigo, tapi akhirnya menyerah menahan rasa malu untuk minta tolong tetangga mengantarkan aku ke klinik.Wiih, saat itu terbayang anak-anak, rasa pasrah dengan takdir dan berdoa yang kuat agar segera pulih. Alhamdulillah aku hanya sampai berobat di UGD tidak perlu dirawat dan sehari setelahnya suami sudah sampai Bandarlampung.
Hidup dan mati tentunya sudah tertulis di Lautan Mahfudz, tapi aku terus berdoa agar bisa mendampingi anak-anak dewasa, hingga punya cucu dan lainnya. Kalau ditanya apa resep dalam pernikahanku? Aku mencoba menerapkan apa yang ibuku lakukan kepada Ayah.
Kata ibu, “Kalau mertua menginginkan sesuatu, berikan saja. Bahkan apa yang dipakai saat itu,” ya itu kata-kata kiasan saja. Tapi, aku mencoba memahaminya, apalagi dalam Islam anak-anak laki-laki adalah milik ibunya.
Pentingnya Komunikasi Suami-Istri
Namun, untuk pasangan baru, aku memberikan saran untuk terus meningkatkan komunikasi dengan pasangan. Jika komunikasi sudah lancar, insya Allah akan mudah menyatukan visi dan misi keluarga. Kesulitan terbesar itu jika suami masih memegang pakem patriarki. di mana pendapat istri tidak mau didengar. Aduh, itu bahaya!
Tapi, bagi seorang istri perlu juga menyadari, setingginya pangkat dan jabatan di kantor, di rumah tetap menjadi pendamping suami yang siap melayani. Hindari menjadi istri yang dominan. Entah dominan dalam berbicara atau mencari penghasilan. Pelajari seni berkomunikasi. Memahami kenapa pasangan sulit untuk mengeluarkan pendapat atau mendengarkan pasangan. Bisa jadi belum tuntas dengan masa kecil yang kelam. Ini penting sekali memahami seni berkomunikasi. Komunikasi suami-istri yang sehat dapat menimbulkan rasa tenang, percaya diri dan bahagia.
Komunikasi dapat menggunakan bahasa cinta dengan langsung berbicara, memberikan pelayanan yang baik, memasak makanan kesukaan suami hingga terus meningkatkan skill kerumahtanggan.
Komunikasi dapat menggunakan bahasa cinta dengan langsung berbicara, memberikan pelayanan yang baik, memasak makanan kesukaan suami hingga terus meningkatkan skill kerumahtanggan.
Baca Juga : Catatan Milad Pernikahan ke-12 : Keluarga Kami Unik!
Seorang Ustadzah pernah mengingatkan, “Serahkan kepada suami soal mencari nafkah, fokus mengurus anak sebelum aktif di luar rumah. Jika penghasilan suami masih sedikit, perbanyak doa agar rezeki suami semakin meningkat.”
Entahlah awalnya aku protes dengan nasehat ini, bagiku kenapa enggak istri membantu ekonomi suami. Tapi, nasehat itu menjadikan intropeksi saja, jika istri perlu memahami hak dan kewajiban sehingga seimbang tugas-tugas dalam rumah tangga. Suami juga memahami tugasnya mencari nafkah, istri bisa fokus mendidik anak.
Apa pun kondisi kita saat ini, aku berdoa semoga pernikahan teman-teman harmonis, samara dan semakin meningkat dalam kebaikannya. Terima kasih untuk ucapan dan doanya.